CERITAKAN
PADA ANAKKU
Perlahan langkah kakiku
menapaki ratusan guguran daun di lantai hutan ini.ada empat puluh orang pasukan
yang berada di bawah garis komandoku. Aku membagi mereka menjadi tiga regu.
Penyusup oleh sepuluh orang tantama terlatih berada di garis depan. Penyerbu
yang terdiri dari dua belas orang berpangkat kopral dan prajurit, tujuh orang
bintara juga aku seoarang letnan sebagai pemimpin di pasukan ini. Sementara di
belakangku ada sepuluh orang bintara yang punya keahlian menembak sasaran
dengan sangat jitu.
Suara tembakan mulai
terdengar dari kejauhan, sepertinya regu penyusup telah sampai di lokasi, regu
itu aku percayakan kepada kopral kepala Anto, seorang Tantama senior yang
pernah di latih sebagai pasukan raider.
"Letnan, delapan
orang regu penyusup telah tewas" teriak dua orang pasukan penyerbu di
garis paling depan.
"Empat orang pasukan
penyerbu,gantikan posisi mereka,dua orang penembak jitu cepat cari posisi bagus
di atas pohon, ini tanggung jawab
kita,NKRI harga mati" seruku pada seluruh pasukanku.
“Siap letnan" empat
orang tantama maju ke pasukan penyusup, keberanian mereka sungguh mengagumkan.
Seolah mereka tidak tahu bahwa berada di garis terdepan berarti menjadi umpan
bagi peluru musuh.
Perlahan aku dan tiga orang
bintara di sisiku mulai menyusuri hutan. Sementara pasukan penyerbu lainnya
mulai memencar mencari posisi terbaik jika ada perintah Serbu dariku
“Letnan,apa kau yakin ini
akan berakhir kemenangan,atau kita semua akan berakhir di sini" ucap Peltu
Ismail, seorang serdadu senior yang jauh lebih dulu merasakan asin manis dunia
militer,tapi dia memiliki pangkat satu garis di bawahku.
Dia adalah lulusan
sekolah bintara yang ada di Pangdam satu Bukit Barisan. Sedangkan aku adalah lulusan
Akademi Militer di Magelang. Jelas saja meski baru tiga tahun berseragam militer
tapi pangkatku sudah sampai kepada letnan dua.
Tanpa sengaja aku
memandang tag militer yang tergantung di leherku. Tag itu di pakaikan oleh
istriku sebelum aku pergi ke medan tempur ini. Aku teringat bagaimana matanya
berlinang air mata di saat melepasku pergi ke medan tempur. Aku teringat
sentuhan terakhir tangannya yang masih terasa hangat di pipi ini. Teringat
bagaiman pelukan hangatnya seolah berat merelakan keberangkatanku menjemput tugas
negara ini. Di mataku mulai membayang kejadian di hari itu
Masih teringat di saat
aku diam menunggu sebuah kepastian. Daun-daun di depan mataku gugur perlahan
dari gagangnya. Mungkin daun itu sudah saatnya jatuh dari ranting kecilnya. Oh
betapa aku berdebar menantikan kehadiran istriku di pelanta rumah ini. Hari ini
ia di temani ibuku pergi ke dokter,sudah dua hari ini dia mual-mual,aku harap
itu adalah pertanda kehamilannya. Moga ia hamil anak pertama kami
Terbayang di relum mataku
kesetiaannya. Dia dan aku pacaran semenjak aku duduk di kelas 3 SMA, sedangkan
saat itu iya masih di kelas 2 SMA. Selepas SMA kesetiaan cinta kamipun di uji,
aku di terima di Akademi Militer di Magelang. Ribuan kilometer tak halangi
cinta kami. Jarang komunikasi bukan masalah bagi dua hati yang telah melebur
menjadi satu. Empat tahun dia menantikan
aku menyelesaikan pendidikanku,dan dua tahun setelah aku resmi di angkat
menjadi seorang perwira muda berpangkat letnan dua, aku menikahinya, Anita
gadis yang sangat aku cintai. Sekarang tak terasa sudah 8 bulan kami lalui
kehidupan berumah tangga.
“Assalamu'alaikum"
itu suara ibu dan istriku.
“wa'alai"
belum.sempat aku mengucapkan salam dia berlari dan langsung memelukku erat
hinga aku kesulitan bernafas.
Aku yakin ini adalah pertanda
baik. Ibuku hanya senyum melihat kemesraan kami.
“Heh sudah, ibu jadi iri,
teringat waktu ibu dan bapakmu baru menikah nak" ibukku tersenyum lalu
keluar ke pintu halaman belakang, di sana ada pelanta, kalau ibu kerumahku
biasanya dia akan banyak menghabiskan waktu di sana.
“Ah ibu, ada ada saja,ibu
bapak mana?” ujarku bertanya lembut pada ibu.
“Bapakmu sedang asik
bermain catur sama pak RT, ibu heran sama bapakmu uang pensiunannya belum jadi
beliau ambil,catur sajalah yang ada di kepala tuanya itu"
Aku tak banyak
berkomentar aku tahu bagaimana karakter bapakku
“Jadi gimana sayang"
“Aku hamil mas" aku
segera melepas pelukannya dan sujud syukur di lantai. Aku mencium perutnya
“Anak pertamaku,moga kamu
lahir dengan selamat ya nak" istriku hanya tersenyum melihat tingkahku.
Baru saja sebuah
kehangatan muncul di keluarga kami. Sebentar lagi lengkap sudah kebahagiaan
kami. Tapi semua berubah menjadi dingin. Saat bel berbunyi
“Assalamu'alaikum"
aku sepertinya kenal suara itu, itu praka Afri, dia adalah kurir militer.
“wa'alaikum salam,
masuk,pintu tidak di kunci”
Dia masuk dengan senyuman
tapi mengandung wajah serius.
“Silahkan duduk pak
Af,mau minum apa" Ujarku ramah
“Ah tidak usahlah Letnan,
saya juga buru-buru. Begini letnan saya seorang prajurit rendahan tugas saya
hanya seorang kurir militer"
“Ah tidak usah ngomong
begitu pak, Bapak sembilan tahun lebih dulu daripada saya di dunia loreng
ini,kalau saya berpangkat tinggipun itu hanya kebetulan karena saya lulusan
Akademi Militer.”
“Letnan memang masih Muda
Umur baru dua puluh tujuh tahun, tapi kemampuan letnan Andi ini sangat luar
biasa terutama dalam menyusun strategi tempur, tidak salah kalau komandan
batalyon mengangkat letnan menjadi komandan pleton di salah satu pleton di
kompi senapan. Jadi begini letnan,letnan pasti sudah tahu bahwa Indonesia
sedang darurat separatis. Jadi Bataliyon kita akan mengirim dua pleton kompi
senapan, dua pleton kompi bantuan dan satu pleton kompi markas. Sedangkan salah
satu pleton yang terbaik harus di turunkan dalam operasi ini. Yaitu Pleton satu
kompi senapan badak yang berada di bawah komando letnan Andi"
Aku hanya terdiam
mendengar ucapan itu, bagaimanapun sumpah militer ada dalam jiwaku. Tugas
negara jauh lebih penting daripada apapun.Aku memandangnya, dan malampun
berubah pada suasana yang sangat dingin,sampai akhirnya ia harus melepasku ke
medan laga. Terbayang indah matanya meneteskan air mata. Sebuah pelemah
sekaligus penyemangat bagi diriku.
Aku susuri lagi hutan
yang makin dingin hingga terdengar suara ledakan mortir.
“Bersiap semuanya, kita
sudah sampai,siapkan senjata mental dan amunisi,Serbu!!” teriakku sambil berlari
dan sesekali memberi isyarat pada pasukanku.
Jumlah mereka sangat
banyak, tapi persenjataan kami jauh lebih lengkap.
“Empat orang di regu
penembak jitu, cepat memencar, satu orang regu penyerbu lakukan kontak ke kompi
marka, cepat!! Akhhhhhhhhhhh,Astaghfirulloh” Sebuah timah panas menghujam dada
kiriku,
“Peltu Ismail, ambil
komando" Aku tergeletak lemas berusaha mengeluarkan timah panas yang
menyerempet dada kiriku.
“Letnan,kompi Markas
datang tepat waktu,pasukan separatis telah menyerah,kau hebat letnan,kita
berhasil,Letnan?,Letnan....?” peltu Ismail menggoyangkan tubuhku.
“Pak Ismail, kembalikan
tag militer ini,pada istriku,jika aku tidak bisa kembali dalam keadaan hidup
padanya,katakan pada ibu dan ayahku,mereka harus bangga,darah amak mereka telah
menjaga keutuhan NKRI ini,pak tolong ceritakan pada anakku kelak, agar dia
bangga dengan bapaknya dan dia tidak bersedih jikalau ini adalah nafas
terakhirku, dan aku tak bisa memeluknya walau hanya sekali.
Ada sesuatu yang mulai
lepas dari badan, Ada sesuatu yang mulai jadi kenangan,ada sebuah nyawa dan
raga yang telah terpisah. Dunia mulai terasa gelap dan aku tak tahu lagi apapun
di sekelilingku. Ada sebuah peluru yang menembus dada, ada sebuah pengorbanan
demi Garuda, ada sesuatu yang selesai.
....TAMAT....
Karya :Rian Febrianto
Mahasiswa Jurnalistik strata satu,
fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Bengkulu. Lahir pada pukul 15:30
WIB hari selasa tanggal 17 agustus, 1998. Lahir di Malalo, sebuah wilayah kecil
di kabupaten tanah datar. Punya mimpi besar untuk bisa menerbitkan sebuah buku
dan berbagi keindahan sastra pada dunia.