Co Baco ko lu sanak..►►E-Mail Ikamami : Ikamamibengkulu00@gmail.com Line ID : @ikamamamibengkulu Instagram : @ikamamiBengkulu Line OfFicial : @qty8021g Fb Ikamami : IKAMAMI PROVINSI BENGKULU untuk Informasi sen eeh

Selasa, 02 Mei 2017

CERITAKAN PADA ANAKKU

Perlahan langkah kakiku menapaki ratusan guguran daun di lantai hutan ini.ada empat puluh orang pasukan yang berada di bawah garis komandoku. Aku membagi mereka menjadi tiga regu. Penyusup oleh sepuluh orang tantama terlatih berada di garis depan. Penyerbu yang terdiri dari dua belas orang berpangkat kopral dan prajurit, tujuh orang bintara juga aku seoarang letnan sebagai pemimpin di pasukan ini. Sementara di belakangku ada sepuluh orang bintara yang punya keahlian menembak sasaran dengan sangat jitu.
Suara tembakan mulai terdengar dari kejauhan, sepertinya regu penyusup telah sampai di lokasi, regu itu aku percayakan kepada kopral kepala Anto, seorang Tantama senior yang pernah di latih sebagai pasukan raider.
"Letnan, delapan orang regu penyusup telah tewas" teriak dua orang pasukan penyerbu di garis paling depan.
"Empat orang pasukan penyerbu,gantikan posisi mereka,dua orang penembak jitu cepat cari posisi bagus di atas pohon,  ini tanggung jawab kita,NKRI harga mati" seruku pada seluruh pasukanku.
“Siap letnan" empat orang tantama maju ke pasukan penyusup, keberanian mereka sungguh mengagumkan. Seolah mereka tidak tahu bahwa berada di garis terdepan berarti menjadi umpan bagi peluru musuh.
Perlahan aku dan tiga orang bintara di sisiku mulai menyusuri hutan. Sementara pasukan penyerbu lainnya mulai memencar mencari posisi terbaik jika ada perintah Serbu dariku
“Letnan,apa kau yakin ini akan berakhir kemenangan,atau kita semua akan berakhir di sini" ucap Peltu Ismail, seorang serdadu senior yang jauh lebih dulu merasakan asin manis dunia militer,tapi dia memiliki pangkat satu garis di bawahku.
Dia adalah lulusan sekolah bintara yang ada di Pangdam satu Bukit Barisan. Sedangkan aku adalah lulusan Akademi Militer di Magelang. Jelas saja meski baru tiga tahun berseragam militer tapi pangkatku sudah sampai kepada letnan dua.
Tanpa sengaja aku memandang tag militer yang tergantung di leherku. Tag itu di pakaikan oleh istriku sebelum aku pergi ke medan tempur ini. Aku teringat bagaimana matanya berlinang air mata di saat melepasku pergi ke medan tempur. Aku teringat sentuhan terakhir tangannya yang masih terasa hangat di pipi ini. Teringat bagaiman pelukan hangatnya seolah berat merelakan keberangkatanku menjemput tugas negara ini. Di mataku mulai membayang kejadian di hari itu
Masih teringat di saat aku diam menunggu sebuah kepastian. Daun-daun di depan mataku gugur perlahan dari gagangnya. Mungkin daun itu sudah saatnya jatuh dari ranting kecilnya. Oh betapa aku berdebar menantikan kehadiran istriku di pelanta rumah ini. Hari ini ia di temani ibuku pergi ke dokter,sudah dua hari ini dia mual-mual,aku harap itu adalah pertanda kehamilannya. Moga ia hamil anak pertama kami
Terbayang di relum mataku kesetiaannya. Dia dan aku pacaran semenjak aku duduk di kelas 3 SMA, sedangkan saat itu iya masih di kelas 2 SMA. Selepas SMA kesetiaan cinta kamipun di uji, aku di terima di Akademi Militer di Magelang. Ribuan kilometer tak halangi cinta kami. Jarang komunikasi bukan masalah bagi dua hati yang telah melebur menjadi  satu. Empat tahun dia menantikan aku menyelesaikan pendidikanku,dan dua tahun setelah aku resmi di angkat menjadi seorang perwira muda berpangkat letnan dua, aku menikahinya, Anita gadis yang sangat aku cintai. Sekarang tak terasa sudah 8 bulan kami lalui kehidupan berumah tangga.
“Assalamu'alaikum" itu suara ibu dan istriku.
“wa'alai" belum.sempat aku mengucapkan salam dia berlari dan langsung memelukku erat hinga aku kesulitan bernafas.
Aku yakin ini adalah pertanda baik. Ibuku hanya senyum melihat kemesraan kami.
“Heh sudah, ibu jadi iri, teringat waktu ibu dan bapakmu baru menikah nak" ibukku tersenyum lalu keluar ke pintu halaman belakang, di sana ada pelanta, kalau ibu kerumahku biasanya dia akan banyak menghabiskan waktu di sana.
“Ah ibu, ada ada saja,ibu bapak mana?” ujarku bertanya lembut pada ibu.
“Bapakmu sedang asik bermain catur sama pak RT, ibu heran sama bapakmu uang pensiunannya belum jadi beliau ambil,catur sajalah yang ada di kepala tuanya itu"
Aku tak banyak berkomentar aku tahu bagaimana karakter bapakku
“Jadi gimana sayang"
“Aku hamil mas" aku segera melepas pelukannya dan sujud syukur di lantai. Aku mencium perutnya
“Anak pertamaku,moga kamu lahir dengan selamat ya nak" istriku hanya tersenyum melihat tingkahku.
Baru saja sebuah kehangatan muncul di keluarga kami. Sebentar lagi lengkap sudah kebahagiaan kami. Tapi semua berubah menjadi dingin. Saat bel berbunyi
“Assalamu'alaikum" aku sepertinya kenal suara itu, itu praka Afri, dia adalah kurir militer.
“wa'alaikum salam, masuk,pintu tidak di kunci”
Dia masuk dengan senyuman tapi mengandung wajah serius.
“Silahkan duduk pak Af,mau minum apa" Ujarku ramah
“Ah tidak usahlah Letnan, saya juga buru-buru. Begini letnan saya seorang prajurit rendahan tugas saya hanya seorang kurir militer"
“Ah tidak usah ngomong begitu pak, Bapak sembilan tahun lebih dulu daripada saya di dunia loreng ini,kalau saya berpangkat tinggipun itu hanya kebetulan karena saya lulusan Akademi Militer.”
“Letnan memang masih Muda Umur baru dua puluh tujuh tahun, tapi kemampuan letnan Andi ini sangat luar biasa terutama dalam menyusun strategi tempur, tidak salah kalau komandan batalyon mengangkat letnan menjadi komandan pleton di salah satu pleton di kompi senapan. Jadi begini letnan,letnan pasti sudah tahu bahwa Indonesia sedang darurat separatis. Jadi Bataliyon kita akan mengirim dua pleton kompi senapan, dua pleton kompi bantuan dan satu pleton kompi markas. Sedangkan salah satu pleton yang terbaik harus di turunkan dalam operasi ini. Yaitu Pleton satu kompi senapan badak yang berada di bawah komando letnan Andi"
Aku hanya terdiam mendengar ucapan itu, bagaimanapun sumpah militer ada dalam jiwaku. Tugas negara jauh lebih penting daripada apapun.Aku memandangnya, dan malampun berubah pada suasana yang sangat dingin,sampai akhirnya ia harus melepasku ke medan laga. Terbayang indah matanya meneteskan air mata. Sebuah pelemah sekaligus penyemangat bagi diriku.
Aku susuri lagi hutan yang makin dingin hingga terdengar suara ledakan mortir.
“Bersiap semuanya, kita sudah sampai,siapkan senjata mental dan amunisi,Serbu!!” teriakku sambil berlari dan sesekali memberi isyarat pada pasukanku.
Jumlah mereka sangat banyak, tapi persenjataan kami jauh lebih lengkap.
“Empat orang di regu penembak jitu, cepat memencar, satu orang regu penyerbu lakukan kontak ke kompi marka, cepat!! Akhhhhhhhhhhh,Astaghfirulloh” Sebuah timah panas menghujam dada kiriku,
“Peltu Ismail, ambil komando" Aku tergeletak lemas berusaha mengeluarkan timah panas yang menyerempet dada kiriku.
“Letnan,kompi Markas datang tepat waktu,pasukan separatis telah menyerah,kau hebat letnan,kita berhasil,Letnan?,Letnan....?” peltu Ismail menggoyangkan tubuhku.
“Pak Ismail, kembalikan tag militer ini,pada istriku,jika aku tidak bisa kembali dalam keadaan hidup padanya,katakan pada ibu dan ayahku,mereka harus bangga,darah amak mereka telah menjaga keutuhan NKRI ini,pak tolong ceritakan pada anakku kelak, agar dia bangga dengan bapaknya dan dia tidak bersedih jikalau ini adalah nafas terakhirku, dan aku tak bisa memeluknya walau hanya sekali.
Ada sesuatu yang mulai lepas dari badan, Ada sesuatu yang mulai jadi kenangan,ada sebuah nyawa dan raga yang telah terpisah. Dunia mulai terasa gelap dan aku tak tahu lagi apapun di sekelilingku. Ada sebuah peluru yang menembus dada, ada sebuah pengorbanan demi Garuda, ada sesuatu yang selesai.

....TAMAT....
Karya   :Rian Febrianto

Mahasiswa Jurnalistik strata satu, fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Bengkulu. Lahir pada pukul 15:30 WIB hari selasa tanggal 17 agustus, 1998. Lahir di Malalo, sebuah wilayah kecil di kabupaten tanah datar. Punya mimpi besar untuk bisa menerbitkan sebuah buku dan berbagi keindahan sastra pada dunia.
PUISI CINTA PERTAMA.
Saat sudut mata berjumpa,
Sontak terbetik di dalam dada,
Wajah itu seperti wahyu,
Membekas dalam di bilik qalbu.
Figura tergantung megah di dinding memori,
Tetap terjaga meski berbungkus jelaga,
Karena termakan usia, namun tetap bersemi di ruang jiwa,
Sketsa itu terus teringat, meski masa telah berulang musim.

Apakah ini dosa,  karena tiada berdaya,
Tiada pena yg dapat menghapus memori,
Aku bisa memetik bunganya,  memangkas dahannya,
Tapi benihnya terus tumbuh bersemi,
Berulang waktu mengubur imaji,
Namun setiap musim semi mekar kambali.

Apakah ini sebuah kesalahan,  atas tiada kuasaku,
Wajah itu dari waktu ke waktu semakin terlihat jelas,
Aku bertarung untuk menyerah kepada karunia cinta-Mu,
Aku berjuang untuk pasrah kepada kuasa keagungan-Mu.
Aku kembalikan bait ini kepada senandung-Mu.

(Putri Di Balik Awan, 6/11/16)

Kiriman uda Fakhrul Rozi